Kamis, 12 Desember 2013

Kebudayaan Papua


RUMAH ADAT PAPUA





PAKAIAN ADAT PAPUA






UPACARA ADAT PAPUA
Upacara Bakar Batu Suku Walesi
Dua orang pemuda berkulit hitam, masing-masing memegang kaki dan kepala seekor babi. Yang satu memegang kedua kaki belakang, dan seorang lagi, memakai kaos sebuah partai berlambang pohon beringin, memegang bagian kepala. Mereka mengangkat babi tadi sampai setinggi kepala. Tak lama kemudian, sebuah anak panah melesat cepat dari busur seorang tetua suku. Tepat mengenai titik kematiannya. Dengan darah mengucur, babi tadi kemudian dilempar ke tanah. Beberapa babi lain menunggu ajalnya, dalam antrian. Taulog Aso, kepala suku perang Walesi, duduk mengamati sambil melinting tembakau “anggur kupu”.

Pemukiman Suku Walesi, bisa ditempuh dari Wamena, ibukota kab. Jayawijaya, dengan kendaraan four whell drive selama 30-40 menit. Di perkampungan ini, walaupun Pemerintah sudah membuatkan “rumah sehat”, namun para penduduk tetap lebih suka tinggal di honai mereka, rumah adat asli penduduk Papua. Di tengah-tengah perkampungan ini berdiri pos TNI, sebuah Masjid, dan Pesantren yang didirikan oleh Yayasan Pengembangan Muslim Walesi. Kepala sukunya, Haji Aipon Aso, seorang  penduduk asli Muslim, dan sudah pernah menginjak Tanah Suci, Mekah, untuk menjalankan Rukun Islam ke lima. Hingga sang Kepala Suku yang berpoligami dengan 23 wanita ini (informasi ini saya dapat dari porter saya, tidak tahu bisa dipertanggungjawabkan atau tidak) akrab disapa “Pak Haji”.

Hari ini, seorang pemuda suku Walesi di Wamena, Kab. Jayawijaya, Papua, meninggal karena sakit. Walaupun hampir sebagian besar penduduk suku ini adalah Muslim, namun mereka tidak bisa meninggalkan babi dalam makanan mereka. Anggota suku minoritasnya Nasrani, dan sedikit masih animisme.


Beberapa kerabat keluarga yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa untuk upacara bakar batu. Sebuah ritual tradisional Papua untuk upacara kematian, pernikahan, perdamaian, dan menyambut tamu agung. Acara bakar batu ini, menurut saya tujuannya mirip dengan selamatan atau kenduri di Pulau Jawa. Walaupun tujuan awalnya untuk mempersembahkan kurban dan sesajen kepada roh atau dewa, namun sekarang disertai dengan doa. Bisa dengan doa cara Islam, Kristen, atau dengan doa agama lain. Namun ada juga yang tetap dengan mengucapkan mantra gaib purba.

Saya tidak lupa ikut mengucapkan belasungkawa dengan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok keretek, minyak goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Ini merupakan barang mewah di pedalaman. Tak lupa, ketika mengucapkan belasungkawa saya harus berpelukan erat dan berciuman pipi dengan mereka, sebagian perempuan bersali tanpa bra. Saya menyesal membawa oleh-oleh ini, seharusnya saya membawa sabun mandi buat mereka.

Di tempat lain, kira-kira berjarak 300 meter dari kumpulan honai ini, belasan wanita, sebagian masih ber Sali tanpa bra, mengumpulkan batu dari sungai kecil dan membakarnya dengan kayu besi sampai membara. Namike Yelipele, seorang penduduk Walesi kemudian mengajak saya ke pinggiran kali untuk menyaksikan tahapan upacara bakar batu. 

Di pinggiran kali tempat berlangsungnya acara memasak, sudah berkumpul puluhan orang. Sebagian besar wanita, karena mereka yang paling berperan dalam pekerjaan ini, dan beberapa laki-laki, sebagian masih berkoteka.

Nayilog, laki-laki yang masih berkoteka, terlihat melinting tembakau, setelah menggali lubang. Selanjutnya laki-laki lainnya memasukkan alang-alang. Caranya dengan menghamparkan memanjang pada lubang dan ujungnya berada di luar lubang membantuk semacam keranjang. Setelah itu kemudian diisi dengan batu, dan dilapisi lagi dengan alang-alang. Diatas alang-alang kemudian dimasukkan daging babi yang sudah dipotong-potong, tanpa dikuliti. Kemudian ditutup lagi dengan rerumputan. Diatas rerumputan ini kemudian ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan tebal. Setelah itu hipere (ubi jalar), disusun diatasnya. Lapisan berikutnya adalah rumput atau alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang); dan towabug atau hopak (jagung).

Belum selesai sampai disini, beberapa wanita yang kemudian saya ketahui adalah para istri Haji Aipon Aso, kepala suku adat Walesi, memasukkan potongan barugum atau buah merah. Selanjutnya lubang ini ditimbun lagi dengan rumput, batu membara, dan atasnya diikat. Selesai sudah, tinggal menunggu matang.

Beberapa kali, sejak acara pembantaian babi sampai proses bakar batu ini saya sibuk membidikkan kamera saya. Agar tidak mencolok, sengaja sama menyembunyikan kamera pro saya. Satu Nikon F5 dengan lensa 24-85 mm dan D1x dengan lensa 200-400 mm. Saya hanya menggunakan pocket digital, Coolplix 5700 yang tidak begitu mengganggu mereka.

Sambil menunggu hidangan tradisional ini matang, saya beekeliling untuk merekam landscape perkampungan ini. Hanya sekitar 90 menit saja, ketika kemudian Namike, berteriak, memanggil saya. Sudah matang rupanya.

Ketika saya mendekat, beberapa wanita yang bertugas sebagai koki sedang membongkar rumput penutup lubang bakar batu. Ketika, rumput terbuka, uap pun membumbung tinggi menyebarkan aroma daging babi dan ubi serta sayuran lain. Bahan makanan yang sudah matang sempurna tadi kemudian dikeluarkan satu persatu, dan dihamparkan diatas rerumputan. 

Namike melemparkan sebongkah ubi besar kepada saya. Masih panas, saya coba nikmati hipere ini. Sangat manis, pulen, dan berserat lembut. Dagingnya pun kering, tidak basah seperti kalau direbus, dan dari rasanya, saya berani bertaruh kadar gulanya lebih tinggi dari ubi cilembu yang terkenal. Selain saya, pria-pria lain yang sudah lama menunggu, kemudian mulai mendahului menyantap jagung muda dan ubi. Sebagai pembuka. Sementara para koki meneruskan pekerjaannya.

Setelah semua komponen bakar batu berhasil dikeluarkan, kemudian salah seorang istri Haji Aipon Aso mengambil buah merah yang sudah matang. Buah merah tadi kemudian diremas-remas sampai keluar pastanya. Pasta dari buah merah yang lebih mirip saos kental tadi kemudian dituangkan diatas daging babi dan sayuran. Garam ditaburkan, dan saya lihat seorang perempuan membuka penyedap rasa dan menaburkannya diatas hidangan. 

Selesai dibumbui, maka semua penduduk pun berkerumun mengelilingi hidangan ini. Pertama kali, Taulog Aso tentunya yang mendapat jatah berupa ubi dan sebongkah daging babi. Selanjutnya semua mendapat jatah yang dibagikan oleh para wanita.


Saya hanya mengambil ubi dan jagung saja, daging babi saya abaikan. Maka penduduk pun mulai menyantap hasil upacara bakar batu. Hipere, nahampun dan hopak sebagai menu pokoknya. Daging babi tentu saja sebagai lauk, dan iprika, tirubug, dan kopae sebagai salad, dengan siraman pasta barugum sebagai sauce nya. Hanomotok, uenak tenan

Sementara kami menyantap hidangan, keluarga yang berkabung masih menunggu jasad Lazarus yang sudah meninggal. Di Masjid, di dekat pos TNI berkumandang adzan, memanggil penduduk Walesi untuk shalat azhar. Hanya guru-guru pesantren dan tentara dari Jawa yang mengambil air wudu dan menjalankan shalat. Penduduk muslim suku ini sedang berpesta daging babi, hasil upacara bakar batu.***


SUMBER :





1 komentar:

  1. Titanium App | The only way to build the ultimate game suite
    Play it! In titanium pickaxe terraria addition to the can titanium rings be resized best casino games, we also have an remmington titanium online store titan metal and a mobile titanium white dominus app where you can bet!

    BalasHapus